Membaca Catatan Pinggir, tulisan rutin Goenawan Mohamad di Tempo, kali ini di edisi 23-29 Juli 2012. Catatan Pinggir dengan judul GARGANTUA, sungguh sesuai dengan kondisi bulan ini, yang bertepatan dengan kewajiban orang Islam menjalankan ibadah wajib Puasa Ramadan.
Gargantua, (cerita satire yang ditulis Francois Rabelais di abad ke-16), pangeran raksasa itu, telah menjadi kata lain dari hasrat yang “tanpa akhir tanpa batas”.
Jadi bila diibaratkan, seorang Gargantua yang berpuasa pada dasarnya seorang gembul yang tak berubah. Hidup, baginya, hanya menunda jamuan besar. Dia berpuasa di siang hari kemudian saat berbuka segala hidangan, apa saja di hadapannya dilahap, ibarat balas dendam.
Rabelais sepertinya ingin mengejek pada orang alim yang sebenarnya tidak bisa alim. Dia tidak setuju
(kontra-Gargantuanisme, pen) dengan kegembulan Gargantua yang menelan semua dan mengumpulkan kenikmatan dalam perut sendiri.
Pemahaman kontra-Gargantuanisme selalu tersimpan dalam ajaran yang terkait dengan yang suci. Ia tersirat dan tersurat dalam teks agama. Bahkan, di abad ke-6 orang Islam mendengar petuah sederhana tapi jelas dari Nabi Muhammad SAW: “Berhentilah makan sebelum kenyang.”
Tapi, sejarah juga selalu memberi peluang bagi Gargantua baru: mereka yang tak mau berhenti makan karena mereka tak mau merasa kenyang. Mereka melahap apa saja yang bisa dikonsumsi.
Dari zaman ke zaman pertarungan antara Gargantuanisme dan kontra-Gargantuanisme tak pernah berhenti dan tak pernah menang total. Bahkan, kontra-Gargantuanisme bisa bergerak menjadi bagian Gargantuanisme, sebagaimana puasa bisa jadi kesempatan untuk bermewah-mewah dalam hidangan dan sekaligus memaafkan kemewahan.
Di mana batas lapar? Di mana batas kenyang? Tentu Anda lebih mengetahui isi perut Anda sendiri?
No comments:
Post a Comment